Mengapa Hanya Ada Dua Pilihan?
Penulis: Yeva Kurniawati
Guru MA YKUI Maskumambang Gresik
KORAN EDUKASI - Apakah anda sering bermedsos? Siapa yang tidak punya akun media sosial hari gini? Hal yang sangat menarik juga untuk diamati adalah bahwa pengguna media sosial bisa dibedakan berdasarkan umur. Tapi bukan itu yang akan kita bicarakan di sini. Kita akan melihat fenomena lain yang sangat besar di media sosial, yaitu fenomena debat tak berkesudahan dan pemberian julukan untuk pengguna media sosial.
Pernahkah anda membaca diskusi cebong dan kampret? Atau pernah berdebat dengan SJW di media sosial? Atau pernah baca-baca komen dari BuzzeRp. Saya yakin semua pernah, bahkan mungkin kita adalah pelaku debat tersebut. Apakah salah? Nggak juga sih, nothing wrong with that. Yang perlu kita perhatikan dari “pertikaian” di media sosial tersebut adalah bahwa tidak ada akhirnya, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Atau kalau boleh dibilang semua menang dari satu pihak, dan semua kalah dari pihak satunya lagi,,,,wkwkwkwkkw.
Menarik sekali bahwa dalam perdebatan tanpa akhir tersebut semua orang yang terlibat langsung bisa mengenali siapa lawan dan siapa kawan tanpa harus melihat latar belakang atau siapa sebenarnya dibalik akun-akun yang muncul. Mereka bisa bebas mengekspresikan pikiran mereka, bebas berafiliasi, dan bebas berkata-kata kotor (jika perlu).
Jawaban dari setiap perdebatan sepertinya hanya dua, ya atau tidak, hitam atau putih, baik atau tidak baik, benar atau salah. Hanya ada dua opsi jawaban yang diperjuangkan. Perdebatan media sosial tidak menerima opsi ketiga atau keempat dan seterusnya. Sungguh sangat naïf sekali bukan?! Atau jangan-jangan tidak menurut anda.
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Ya, pendidik kita salah membuat soal. Karena kesalahan membuat soal atau pertanyaan menjadikan kita seperti ini. Loh kok jadi menyalahkan soal nya? Mari kita cermati baik-baik. Soal yang dibuat oleh guru kita selama kita bersekolah selalu mempunyai satu jawaban benar, bahkan soal essay. Ketika kita mengisi soal essay, biarpun cara kita menjawab berbeda-beda tapi endingnya selalu merujuk ke satu jawaban. Hal ini kita alami selama kita bersekolah. Bertahun-tahun dan menjadikan suatu kebiasaan yang mendarah daging akhirnya menjadi karakter dalam diri kita. Kita tidak diperbolehkan berbeda, kita diharuskan mempunyai satu jawaban yang sama yang diakui kebenarannya.
Apakah pernah terpikir oleh para pendidik untuk membuat soal atau pertanyaan yang bisa mempunyai banyak jawaban yang berbeda dan semuanya mempunyai nilai kebenaran. Membuat sebuah pertanyaan yang bisa dijawab oleh setiap siswa dengan cara mereka, sudut pandang mereka, berbeda dengan jawaban milik temannya tapi tetap memiliki nilai kebenaran.
Bukankah ketika kita membuat soal yang memiliki banyak jawaban benar akan membuat anak-anak merasa pandai, merasa dihargai hasil kerjanya, dan tentu saja akan sangat meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu, ketika anak-anak mengetahui bahwa jawaban teman-teman yang lain juga mempunyai nilai kebenaran, maka akan terukir di benak mereka bahwa “kebenaran itu mempunyai banyak wajah”. Akan timbul rasa menghargai setiap pendapat orang lain, tidak egoois untuk memaksakan kehendaknya, karena dia sadar bahwa jawaban orang lain juga bisa mempunyai nilai kebenaran.
Lalu bagaimana kita memulai ini, karena saya mengawali dengan contoh guru matematika maka saya akan memberikan satu alternatif jawaban sebagai seorang guru matematika. Memperbanyak membuat soal open ended. Sebuah soal terbuka dengan banyak jawaban yang benar. Akan sangat menguras tenaga memang, tapi bukankah layak untuk dicoba. Lagi pula kita pendidik, bukan sekedar pengajar. []
Informasi Seputar Pendidikan Terbaru, Kunjungi https://www.koran-edukasi.com/
Posting Komentar untuk "Mengapa Hanya Ada Dua Pilihan?"